Selasa, 21 April 2015

Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi 2 Pada PT. KAI 2006

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur saya panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah kami kali ini membahas tentang pelanggaran etika yang secara nyata terjadi dalam berbagai bidang khususnya di Indonesia. Penulisan makalah kami ini adalah merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah Etika Profesi Akuntansi. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam kelancaran penyusunan makalah ini. Makalah yang penulis susun ini memang masih jauh dari kata sempurna baik dari bentuk penyusunannya maupun materinya. Kritik dari pembaca yang membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sebagai akuntan publik, profesionalisme merupakan syarat utama profesi ini. Karena selain profesi yang bekerja atas kepercayaan masyarakat, kontribusi akuntan publik terhadap ekonomi sangatlah besar. Peran auditor untuk meningkatkan kredibilitas dan reputasi perusahaan sangatlah besar. Selain itu beberapa peneliti seperti Peursem (2005) melihat bahwa auditor memainkan peranan penting dalam jaringan informasi di suatu perusahaan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gjesdal (1981) dalam Suta dan Firmanzah (2006) juga mengatakan bahwa peranan utama auditor adalah menyediakan informasi yang berguna untuk keperluan penyusunan kontrak yang dilakukan oleh pemilik atau manajer perusahaan. Logika sederhananya bahwa agar mesin perekonomian suatu negara dapat menyalurkan dana masyarakat kedalam usaha-usaha produktif yang beroperasi secara efisien, maka perlu disediakan informasi keuangan yang andal, yang memungkinkan para investor untuk memutuskan kemana dana mereka akan di investasikan. Untuk itu dibutuhkan akuntan publik sebagai penilai kewajaran informasi yang disajikan manajemen. Jadi jelas bahwa begitu besarnya peran akuntan publik dalam perekonomian, khususnya dalam lingkup perusahaan menuntut profesi ini untuk selalu profesional serta taat pada etika dan aturan yang berlaku. Dari penjelasan tentang pentingnya peran akuntan publik tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil salah satu contoh kasus pelanggaran etika profesi akuntansi tentang manipulasi laporan keuangan PT. KAI yang diharapkan dapat memberikan informasi lebih nyata tentang pentingnya etika profesi akuntansi agar pembaca dapat lebih mudah memahaminya. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi seperti apa yang dilakukan oleh PT. KAI ? 2. Bagaimanakah solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus pelanggaran tersebut ? 1.3 BATASAN MASALAH Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis menyesuaikan topik yang relevan, yaitu membatasi masalah yang hanya menyangkut pada kasus pelanggaran etika profesi akuntansi pada PT. KAI pada tahun 2005. 1.4 TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui pelanggaran etika profesi akuntansi yang dilakukan oleh PT. KAI. 2. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk dapat menangani kasus pelanggaran tersebut. 1.5 METODE PENULISAN Dalam melakukan penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah PT. Kereta Api Indonesia Kehadiran kereta api di Indonesia ditandai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan KA di desa Kemijen, Jum'at tanggal 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km) dengan lebar sepur 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867. Keberhasilan swasta, NV. NISM membangun jalan KA antara Kemijen - Tanggung, yang kemudian pada tanggal 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang - Surakarta (110 Km), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan KA di daerah lainnya. Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864 - 1900 tumbuh de-ngan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 Km, tahun 1870 menjadi 110 Km, tahun 1880 mencapai 405 Km, tahun 1890 menjadi 1.427 Km dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 Km. Selain di Jawa, pembangunan jalan KA juga dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), Sumatera Selatan (1914), bahkan tahun 1922 di Sulawasi juga telah dibangun jalan KA sepanjang 47 Km antara Makasar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923, sisanya Ujungpandang - Maros belum sempat diselesaikan. Sedangkan di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan KA Pontianak - Sambas (220 Km) sudah diselesaikan. Demikian juga di pulau Bali dan Lombok, pernah dilakukan studi pembangunan jalan KA. Sampai dengan tahun 1939, panjang jalan KA di Indonesia mencapai 6.811 Km. Tetapi, pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 km, kurang Iebih 901 Km raib, yang diperkirakan karena dibongkar semasa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan KA di sana. Jenis jalan rel KA di Indonesia semula dibedakan dengan lebar sepur 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 Km, sedangkan jalan KA yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah - Cikara dan 220 Km antara Muaro - Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan KA Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang mempekerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah Romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro- Pekanbaru. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamir-kan pada tanggal 17 Agustus 1945, karyawan KA yang tergabung dalam Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) mengambil alih kekuasa-an perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tanggal 28 September 1945. Pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperbolehkan campur tangan lagi urusan perkeretaapi-an di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). 2.2 Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT. KAI Transparansi serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini. Di lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut. Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini. Dalam penjelasannya kepada Ikatan Akuntan Indonesia, Hekinus Manao menyatakan ada tiga kesalahan dalam laporan keuangan Kereta Api. Pertama, kewajiban perseroan membayar Surat Ketetapan Pajak pajak pertambahan nilai Rp 95,2 miliar, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak pada akhir 2003, disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang/tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak tersebut. "Komisaris berpendapat pencadangan kerugian harus dilakukan karena kecilnya kemungkinan tertagihnya pajak kepada para pelanggan," kata Hekinus dalam laporannya. Kedua, adanya penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sekitar Rp 24 miliar yang diketahui pada saat dilakukannya inventarisasi pada tahun 2002, pengakuannya sebagai kerugian oleh manajemen Kereta Api dilakukan secara bertahap (diamortisasi) selama 5 tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sekitar Rp 6 miliar. "Komisaris berpendapat saldo penurunan itu nilai Rp 6 miliar itu harus dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005," ujar Hekinus. Kesalahan ketiga, lanjut dia, bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya senilai Rp 674,5 miliar dan penyertaan modal negara Rp 70 miliar oleh manajemen disajikan dalam Neraca 31 Desember 2005 yang konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya sebagai bagian dari utang. 2.3 Analisis Menurut kami, selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip- prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain : 1. Tanggung jawab profesi , dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya. 2. Kepentingan Publik , dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut. 3. Integritas , dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan. 4. Objektifitas , dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI. 5. Kompetensi dan kehati-hatian professional , akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalamlaporan keuangan mengalami keuntungan. 6. Perilaku profesional , akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya. 7. Standar teknis , akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Menurut sumber yang kelompok kami peroleh, ada beberapa hal yang di identifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia yaitu: 1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor eksternal. 2. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada komite audit dan komite audit juga tidak menanyakannya. 3. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin. PT KAI yang merupakan suatu lembaga memang punya kewenangan untuk menyusun laporan keuangannya dan memilih auditor eksternal untuk melakukan proses audit terhadap laporan keuangan tersebut. Tetapi, PT KAI tidak boleh mengabaikan organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai wujud penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Auditor eksternal yang dipercayai harus benar-benar memiliki integritas serta prosesnya harus terlaksana berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diakui validitasnya, dalam hal ini PSAK dan SPAP. Selain itu, sebagai auditor eksternal wajib melakukan komunikasi secara baik dan benar dengan komite audit yang ada pada PT Kereta Api Indonesia untuk membangun kesepahaman (understanding) diantara seluruh unsur lembaga. Kemudian, hubungan antar lembaga diharapkan tercipta dengan baik, sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen yang ada di dalamnya. Secara tidak langsung, upaya ini menunjang perwujudan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat luas sebagai salah satu pengampu kepentingan. Perlu diketahui juga akan pentingnya kejujuran dalam membuat laporan keuangan. Hal tersebut bukan hanya penting sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap publik maupun investor. Akan tetapi hal tersebut juga penting bagi perusahaan sendiri karena dari laporan keuangan biasanya perusahaan menganalisis bagaimana perkiraan tahun mendatang dan menjadi dasar pengambilan keputusan. Apabila laporan keuangan yang menjadi dasar hal tersebut sudah tidak layak, tentu hasil akan jauh dari yang diharapkan dan bahkan bisa berimbas pada perusahaan. Menurut Ahmadi, jika pendapat Hekinus benar, maka kesalahan penyajian laporan keuangan tersebut telah terjadi bertahun-tahun. "Seharusnya komisaris terlibat sebelum laporan keuangan diterbitkan." (Tempo.co). Menanggapi kondisi tersebut, Menteri Negara BUMN Sugiharto mengaku, pihaknya lebih memilih untuk menyerahkan masalah ini ke Badan Peradilan Profesi Akuntan untuk membuktikan ada-tidaknya kesalahan audit tersebut. Sugiharto juga mempersilakan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai auditor negara untuk menindaklanjuti hal tersebut. Sebelumnya auditor dari Akuntan Publik Mannan, Sofwan, Adnan, dan rekan membantah melakukan kekeliruan. Pasalnya kantor ini sudah dua periode mengaudit keuangan PT. KAI, yakni pada 2004 dan 2005. Induk organisasinya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) meminta perdebatan ini dibawa ke Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik untuk menentukan apakah ada kekeliruan dalam proses audit laporan keuangan PT KAI. (Liputan6.com) BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Dari hasil pembahasan diatas maka hasil yang dapat penulis simpulkan adalah sebagai berikut : 1. Laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. 2. Solusi dari kasus tersebut adalah sebagai berikut: a. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan. Kesalahan-kesalahan sudah terakumulasi dari tahun-tahun sebelumnya sehingga terdapat dua alternatif, yaitu di restatement atau dikoreksi. Keputusan mengenai opsi yang dipilih sepenuhnya tergantung dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP), karena kasus PT. Kereta Api sedang diproses disana. b. Komite Audit tidak berbicara kepada publik, karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit namun Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada laporan komite audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan. c. Perbaikan sistem akuntansi dan konsistensi penerapan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum di perusahaan. d. Memilih auditor yang benar-benar kompeten dan profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar